Saturday, February 14, 2009

Mengubah Lahan Kosong Menjadi Kampung Belimbing

Kademi
Mengubah Lahan Kosong Menjadi Kampung Belimbing

“Di luar dugaan, biji buah yang dibuang di halaman belakang tumbuh menjadi benih.”
Tangan terampil Kademi, 60 tahun, cukup cekatan mengemas buah belimbing ke dalam kotak. Dalam waktu singkat, sebanyak 40 kilogram belimbing jenis bangkok merah sudah berpindah ke dalam peti kayu. Siang itu, Kademi harus menyelesaikan pengemasan 425 kotak belimbing yang akan dikirim ke Bandung. "Kalau pengemasannya terlalu lama, bisa membusuk," kata Kademi, Rabu lalu, kepada Tempo.
Dibantu sembilan tetangga yang sekaligus menjadi karyawannya, Kademi menyelesaikan pengemasan ribuan buah belimbing di teras rumahnya. Beberapa peti kayu terpaksa diletakkan di luar pagar karena tak tertampung seluruhnya di halaman rumah Kademi yang hanya seluas 7 x 3 meter.
Rutinitas seperti ini telah dijalani Kademi sejak 1985 silam. Meski tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pertanian, mantan pedagang makanan ringan ini mencoba menanam benih belimbing bangkok merah hasil buah tangan saudagar ayam di kampungnya Kelurahan Karangsari, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.
"Seussai berlibur di Bangkok, saudagar itu pulang membawa buah belimbing merah. Di luar dugaan, biji buah yang dibuang di halaman belakang tumbuh menjadi benih," kata Kademi yang hanya lulus sekolah dasar ini.
Dari situ, Kademi mulai mencoba mengembangkan benih belimbing bangkok. Selain ukuran buahnya yang sangat besar, rasa manis yang jauh melebihi buah lokal menjadi alasan utama Kademi untuk mencoba peruntungan di bidang pertanian. Sejak itulah ia menghabiskan waktu dengan mengutak-atik metode pembenihan untuk menghasilkan tunas yang bagus.
Setelah melalui berbagai eksperimen, Kademi berhasil menciptakan benih belimbing merah yang sempurna. Memanfaatkan sisa tanah di pojok teras rumahnya yang belum disemen, Kademi menanam benih tersebut di lahan 1 x 1 meter.. Dalam waktu tujuh bulan, benih itu telah berubah menjadi pohon belimbing yang sangat rindang dengan produktivitas buah yang lebat.
"Pak Lurah akhirnya tertarik untuk membagi-bagikan benih saya kepada warga dan menjadikannya program desa," kata ayah dua orang anak ini.
Inilah cikal-bakal terbentuknya kampung belimbing, yakni sebanyak 300 kepala keluarga di dalamnya berprofesi sebagai petani belimbing. Untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, setiap rumah diwajibkan menanam pohon belimbing di sela lahan mereka. Langkah ini cukup berhasil. Para tetangganya mulai berbondong-bondong memanfaatkan sela dapur dan kamar mandi mereka untuk menanam belimbing.
Perawatan pohon belimbing ini tidaklah rumit. Belimbing tergolong cukup tangguh terhadap serangan penyakit. Pemupukan juga hanya perlu dilakukan tiga kali dalam tujuh bulan.
Buah ini juga cukup familiar di masyarakat. Tak mengherankan jika belimbing ini banyak mengubah kehidupan ekonomi Kademi. Kini, ia telah memiliki 60 pohon di lahan seluas 1.000 meter persegi.
Jika kondisi alam mendukung, Kademi mematok hasil panennya dengan harga Rp 2.500 per kilogram. Harga ini bisa meningkat tajam hingga Rp 7.000 per kilogram di sejumlah swalayan Bandung yang menjadi pelanggannya. Kademi baru menaikkan harga jualnya menjadi Rp 4.000 per kilogram jika musim kemarau tiba.
Meski tergolong cukup mahal, buah jenis ini cukup banyak diminati masyarakat. Ukuran buahnya mencapai 7 ons per buah. Bahkan, ada yang bisa mencapai 1 kilogram setiap 3 buahnya untuk jenis belimbing super. Dengan perawatan yang benar, setiap pohon rata-rata mampu menghasilkan 60 buah setiap kali panen.
Selain memenuhi kebutuhan swalayan di Bandung, pesanan mengalir dari sejumlah pedagang di Surabaya, Semarang, dan wilayah Jawa Timur lainnya.
Dalam satu pekan, Kademi harus mengirimkan 150 kotak yang terdiri atas 40 kilogram belimbing setiap kotaknya ke Bandung, 180 kotak ke Surabaya, dan 75 kotak ke Semarang.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Kademi mengumpulkan seluruh hasil panen di kampungnya agar bisa didistribusikan. Langkah inilah yang memudahkan para petani belimbing di Kelurahan Karangsari untuk menjual hasil panen mereka.
"Bagi warga yang hanya memiliki dua pohon tentu kesulitan untuk menjual sendiri," kata Kademi.
Denyut pertanian inilah yang dalam perjalanannya memancing animo Pemerintah Kota Blitar untuk memberikan pembinaan. Dengan menerjunkan staf Dinas Pertanian yang memiliki pengetahuan budidaya belimbing, pemerintah daerah mencoba menawarkan diversifikasi belimbing menjadi aneka jenis minuman dan jamu tradisional. Sayangnya, usaha ini tidak disertai dengan dukungan pemasaran yang konkret sehingga warga tetap mengandalkan relasi kerja yang dirintis Kademi sebagai mata rantai penjualan.
Demikian pula dengan permodalan. Para petani rata-rata kesulitan modal untuk mengembangkan usaha ini. Meski pemerintah berulangkali mengumunkan bantuan lunak, hingga kini mereka masih bergantung pada lembaga keuangan swasta dengan bunga yang cukup tinggi. Akibatnya, tidak sedikit warga yang kehilangan jaminan mereka karena tidak mampu membayar cicilan.
Kepeduliannya pada sesama petani belimbing inilah yang mengantarkan Kademi sebagai pengepul terbesar di kelurahan itu. Hampir seluruh petani mempercayakan hasil panen mereka kepada Kademi. Tak mengherankan jika sebagian warga menyebutnya sebagai "Insinyur Belimbing". HARI TRI WASONO
Mendidik Preman Kampung
Kerja keras Kademi untuk membangun kampung belimbing tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain menuai kegagalan berulang kali, usaha pengirimannya nyaris diobrak-abrik preman kampung. Menurutnya, kawasan pemukiman padat penduduk yang ditempatinya banyak melahirkan remaja pengangguran yang gemar mabuk-mabukan. Bahkan, ia nyaris beradu fisik dengan salah satu preman yang mencoba merusak hasil panennya.
"Tuhan masih melindungi saya untuk berani melawan mereka," kata Kademi, yang kini memiliki empat cucu dari tiga orang anaknya.
Setelah bersitegang dengan Kademi, para preman yang rata-rata masih belia itu justru berubah sikap. Mereka kerap diundang ke rumah Kademi hanya untuk ikut menikmati hasil penjualan belimbing. Rutinitas ini rupanya mengubah kegarangan preman itu. Lalu, mereka mulai tertarik menjadi petani belimbing di bawah bimbingan Kademi.
Kesuksesan ini salah satunya dialami Feri, 25 tahun, salah seorang remaja binaan Kademi. yang kini mulai membangun rumah megah di kampung tersebut. Di usianya yang masih muda, saat ini ia tengah menikmati kehidupan bersama istri dan anaknya dengan berjualan belimbing. Karena tidak memiliki lahan pertanian, Feri memilih menjadi pengepul dengan keuntungan yang relatif besar.
"Pokoknya, cukup untuk mendirikan rumah dan makan sehari-hari, " kata Feri saat disinggung nilai penghasilannya.
Di usianya yang semakin senja, Kademi masih berharap bisa melahirkan petani-petani muda di kampungnya. Ia tidak menginginkan usaha yang sudah dirintisnya puluhan tahun silam ini sia-sia. Apalagi, kampung tersebut telah mengantarkan Kota Blitar menjadi daerah penghasil belimbing ternama. HARI TW
salam
Abdul Rohim

Saturday, January 31, 2009

awal ke 2

bertautan pada keesokan harinya terdengar sirene dari patroli polisi mengantarkan seorang tokoh dari pewaris pejuang. dimulai dengan ucapan selamat pagi dan dihadirin semua menyahut dengan ucapan pagi Indonesia. kerasnya suara knalpot juga mengiringi sambutan pagi Indonesia. Minggu Kliwon tepatnya dimulai dengan rangkaian alunan musik tradisional, modern, klasik saling bersahutan, tanpa persiapan namun jiwa-jiwa seniman seolah langsung bersinergis dengan yang lain. jati, mahoni, akasia, kutilang, gereja, kucing juga menyalami dan terhening disaat putra mahkota naik kemimbar dan diikuti arak-arakan taman kanak-kanak. (tobe continue)

Friday, January 30, 2009

Indonesia

blog-indonesia.com

Bulan Ke-1 tahun 2009

Tahun 2009 merupakan tahun vivere coloso (penyerempetan bahaya) istilah yang dipergunakan bung Karno untuk menyakinkan masyarakat Indonesia untuk berani menghadapi bahaya baik ringan maupun berat. Apalagi tahun ini berbagai gejolak baik yang ditimbulkan oleh alam maupun gejolak politik dalam menghadapi pesta demokrasi di negeri tercinta ini. satu bulan sudah kita melewati berbagai persoalan baik ditingkat nasional, lokal, maupun kehidupan terdekat kita. persoalan nasional adalah peristiwa nasional disebabkan oleh gesekan politik, dengan kalkulasi partai politik peserta pemilu saling berebut simpati masyarakat, terus bersaingnya belanja iklan media elektronik untuk memberikan citra positif kepada masyarakat belum lagi beragam poster caleg yang dengan ide kreatif, konyol senantiasa menghendaki kepada hati pemilih tertarik pada iklan ataupun bentuk-bentuk poster lainnya.

Kiranya masyarakat belum sepenuhnya antusias mendiskusikan, mengobrolkan maupun menggosipkan siapakah layak yang menjadi pemenang di tahun ini. kemiskinan dan kesulitan hidup dalam mencari kebutuhan keluarga masih menjadi perhatian bagi masyarakat kita. walaupun penurunan harga BBM masih diacuhkan karena perusahaan yang telah menerapkan harga jual produksi yang mahal tidak dipatuhinya untuk ikut turun mengikuti penurunan harga BBM, beberapa sarana transportasi juga belum mau mengikuti penurunan tarif angkutan dikarenakan banyak faktor salah satunya, masih tingginya sparepart kendaraan angkutan, lesunya masyarakat untuk naik angkutan, dua hal inilah mungkin menjadi dorongan kenapa sopir-sopir angkutan tidak ingin tarifnya diturunkan oleh kebijakan pemerintah. Sebenarnya kalau pemerintah ingin jujur dan dapat mendialogkan kepada masyarakat tentang keinginanya mewujudkan apa yang telah dijanjikan pada pemilu 2004 tentang projobs, propoor, progrowth, adalah penekanan biaya tinggi pada perusahaan dengan pengurangan pungli, negoisasi investasi yang berimbang, pengelolaan penerimaan negara dari non pajak, serta insentif kepada lembaga penelitian dan pengembangan dalam kebebasan penerapan tehnologi yang mampu diserap masyarakat kecil dan sektoral lainnya, serta penegakan hukum terutama perangkat hukum negara seperti MA, dan para Hakim di pengadilan tinggi maupun negeri. Dan yang tak bisa dilupakan dan hal itu penting bagi perubahan Indonesia adalah penataan ulang sistem pendidikan dasar yang mengacu kepribadian Indonesia dan Nilai-nilai Pancasila serta Pembukaan UUD 1945, Penataan Ulang sistem di Kementrian Agama dan Departemen Agama untuk lebih memperhatikan pembinaan akhlak dan budi pekerti masyarakat Indonesia, dan yang terakhir adalah Kementrian Pemuda dan Olahraga beserta departemen dinaunginya, karena untuk mencetak SDM yang tangguh dan unggul peranan olahraga adalah pembinaan jasmani ingat mensano incoporesano (didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula).

Memang kita semua berbuat dan bekerja demi kejayaan Indonesia sebagai negara yang mempunyai sejarah dan mampu berjajar diantara negara-negara lain di dunia ini. janganlah kita hanya menginginkan pemberian dari negara lain yang taklain dan takbukan bersifat hutang, berfikirlah untuk 100 tahun bukan berfikir untuk 5 tahunan. Songsong perubahan demi kemuliaan Indonesia Tercinta. Januari 2009

Saturday, January 24, 2009

Pejambon Coffee, Diplomasi Wayang Ala Indonesia

23/01/09 06:58


Jakarta, (ANTARA News) - "Tapi, di kehidupan di dunia nyata ini, terkadang kita tidak dapat melakukan semua hal."

Kata-kata itu meluncur dari bibir Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam acara Pernyataan Tahunan Menlu RI di Gedung Deplu kompleks Pejambon, Jakarta, Kamis petang.

Menlu bukan sedang mengeluh ketika mengucapkan kata-kata itu, ia hanya sedang berusaha menerangkan fakta mengenai riuhnya diplomasi di kehidupan nyata kepada kelompok punakawan Bagong, Gareng dan Petruk.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pernyataan Tahunan Menlu kali ini dikemas dalam sebuah pagelaran wayang kulit dalam bahasa Inggris yang dipentaskan oleh Kelompok Wayang Sena Wangi.

Dalam acara yang dihadiri oleh sekitar 170 undangan yang terdiri dari para duta besar dan para diplomat negara-negara sahabat, tokoh nasional dan para pejabat Deplu itu tokoh Bagong yang dibawakan oleh dalang Ki Bagong Darmono mengajukan satu pertanyaan kepada Menlu.

"How Indonesia should deal with the current global situation?" tanya Bagong dengan didampingi oleh kedua saudaranya Petruk dan Gareng dengan logat Jawa yang samar sehingga memancing tawa para undangan.

Menlu yang menyaksikan pertunjukan wayang bertajuk Duta Perdamaian itu dengan didampingi oleh sekitar 60 duta besar negara sahabat tersenyum ketika mendengar pertanyaan yang sekalipun diklaim sederhana oleh sang dalang namun membutuhkan jawaban yang tidak sederhana mengingat dunia saat ini dihadapkan pada krisis pangan, energi, keuangan global, ancaman pemanasan global dan konflik berkepanjangan di sejumlah negara.

"Indonesia juga berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dunia namun dunia nyata berbeda dengan di dunia wayang, dimana dalang memiliki otoritas penuh untuk menentukan siapa yang menang dan kalah," jelas Hassan kemudian yang petang itu mengenakan baju tradisional Jawa berupa beskap hitam lengkap dengan penutup kepalanya.

Sekalipun terdengar ironis namun kata-kata Menlu itu boleh jadi benar adanya. Apalagi apabila dikaitkan dengan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.

Tahun 2009 baru bergulir 22 hari namun sudah lebih dari 1.000 warga sipil Palestina meregang nyawa akibat agresi militer Israel di wilayah yang dikendalikan Hamas tersebut.

Dan sekalipun masyarakat internasional, termasuk Indonesia, berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan krisis kemanusiaan itu tapi tampaknya tidak terlalu banyak mendapatkan respon berarti dari pihak Israel.

Bahkan resolusi No.1860 yang diadopsi dengan susah payah oleh Dewan Keamanan PBB pun tampaknya masih diabaikan oleh Israel sehingga dibawah inisiatif Indonesia Majelis Umum PBB harus menggelar sidang darurat yang ironisnya mengadopsi suatu resolusi yang dinilai lunak oleh Indonesia.

"Dunia nyata penuh dengan berbagai ketidakpastian, ... sebagaimana kemalangan yang menimpa rakyat Gaza," ujar Menlu.

Dalam paparannya, Menlu mengatakan bahwa sebagaimana dalam babak pertama pementasan wayang tersebut dapat diambil pelajaran bahwa peperangan antara kebaikan dan kejahatan tidak menghasilkan apa-apa kecuali penderitaan bagi orang banyak sebagaimana yang terjadi di Gaza.

"Dunia saat ini menyaksikan bahwa pihak yang kuat dapat menghancurkan apapun yang mereka inginkan tanpa menanggung konsekuensi dan seluruh dunia hanya menjadi penonton," katanya merujuk fakta bagaimana sebagian besar warga dunia dapat menikmati peristiwa pembunuhan massal itu dari ruang tamu atau kamar tidur pribadi akibat kecanggihan teknologi televisi.

Pementasan wayang yang berlangsung lebih kurang 1,5 jam itu terbagi dalam dua babak, di babak pertama terjadi "goro-goro" dimana kebaikan berada diambang kehancuran sedangkan babak kedua dibuka dengan penampilan wayang orang yang membawakan sendratari mengenai perang antara kebaikan dan kejahatan.

Secara keseluruhan alur cerita pertunjukan wayang tersebut adalah peperangan antara kebaikan yang diwakili oleh kerajaan Amarta --tempat para Pendawa-- dengan kejahatan yang disimbolkan oleh kerajaan Giribraja.

Alkisah Raja Giribraja berambisi menyatukan 100 negara tetangganya dibawah kekuasaannya. Ia berhasil menyatukan 97 negara kecuali Amarta, Dwarawati dan Mandura.

Ditemui seusai pertunjukan, Menlu mengatakan adalah idenya untuk menggabungkan diplomasi dengan budaya guna menyampaikan pesan perdamaian.

Menurut dia, selain untuk menampilkan kesenian khas Indonesia yaitu kisah dalam wayang memiliki kedekatan dengan kehidupan nyata.

"Ada banyak pesan dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, yang perlu kita lakukan hanya mengidentifikasi dan menangkap pesannya," ujarnya.

Khusus untuk memeriahkan acara tersebut seluruh pejabat eselon I dan II di lingkungan Deplu memang mengenakan pakaian tradisional Jawa itu dalam berbagai warna, tidak terkecuali para staf penerima tamu.

Bagi sebagian besar orang Indonesia, busana tradisional biasanya hanya dikenakan dalam waktu-waktu yang khusus sehingga wajar jika sejumlah besar pejabat Deplu tampak sedikit kerepotan dengan busananya.

"Setelah 23 tahun, ini adalah kali kedua saya pakai beskap. Saya pertama kali memakainya sewaktu menikah," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Teguh Wardoyo mengenai beskap coklat yang dikenakannya.

Sementara itu karena pertunjukan wayang ditampilkan dalam bahasa Inggris dengan pesinden Elisabeth --warga negara AS-- yang mahir bahasa Jawa maka jalannya cerita dalam dipahami sepenuhnya oleh para duta besar negara sahabat.

Sebagian besar dari mereka mengikuti jalannya pertunjukan dengan antusias, beberapa bahkan memilih berdiri dari kursinya agar dapat melihat kemahiran sang dalang memainkan wayangnya dengan lebih jelas.

Adegan pertempuran antara kebaikan dan kejahatan yang ditampilkan melalui sendratari pertempuran Pangeran Arjuna dengan para raksasa tampaknya juga menjadi adegan favorit karena diiringi musik yang lebih cepat.

"Sederhana karena hanya dua dimensi tapi sangat bagus dan impresif, sangat menarik dan cantik," kata Duta Besar Jepang ketika diminta pendapatnya mengenai pertunjukan itu.

Ia merupakan satu dan sejumlah duta besar yang mengikuti jalannya pertunjukan dengan serius.

Ditemui dalam acara ramah tamah yang menyediakan aneka panganan khas Indonesia, termasuk kelezatan kopi Indonesia itu, ia mengaku memahami pesan yang coba disampaikan sang dalang.

"Sangat bagus bagaimana pesan dapat sampai melalui budaya," katanya.
Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Menlu jika sang dalang memiliki otoritas penuh dalam suatu pagelaran, di akhir cerita kebaikan sudah pasti berhasil mengalahkan kejahatan.

Amarta dengan para ksatrianya berhasil menundukkan Giribraja dan mewujudkan perdamaian. Sementara itu perdamaian di Gaza entah kapan baru akan terwujud, sekalipun Presiden AS Barack Hussein Obama yang diharapkan dapat membawa perubahan telah dilantik pada 20 Januari 2009.(*)

COPYRIGHT © 2009

Grup Musik Indonesia, Gugun and the Blues Shelter, Tour di Inggris

24/01/09 06:07


London (ANTARA News) - Grup musik blues asal Indonesia, Gugun and the Blues Shelter, yang terdiri atas Muhammad Gunawan alias Gugun (33), John Armstrong alias Jono (28) dan Adityo Wibowo, alias Bowie (24) , menggelar tour di Kerajaan Inggris selama dua bulan dari Januari hingga Februari.

Selain menggelar tour di berbagai kota, Gugun and the Blues Shelter juga mengikuti Festival Skegness Rock & Blues Festival, yang diadakan di Skegness, selama tiga hari (23/25) , demikian John Armstrong kepada koresponden Antara London, Sabtu.

Dikatakannya, the Blues Shelter yang berarti payung tempat berlindung itu merupakan satu satunya grup band aliran blues asal Asia yang tampil dalam festival yang digelar di daerah East Midlands, kawasan Lincolnshire, pinggiran pantai North Sea Inggeris itu.

Jono Armstrong mengatakan tour the Blues Shelter yang awalnya bernama the Bluesbug yang dibentuk Gugun tahun 2006 lalu mengawali tournya di Clitheroe, Lancashire, dan dilanjutkan di Bangor, County Down.

Menurut Jono Armstrong, alasan mereka mengganti nama dari The Blues Bug menjadi Blue Hand Gang dan akhirnya menjadi the Blues Shelter.

"Nama Blues Bug telah digunakan sejak 10 tahun oleh grup musik asal Yunani," ujarnya.

Selain itu, the Blues Shelter juga manggung di Irlandia di The Ivy Bar, Newtownards, co. Down, serta di The Menagerie Bar, University St Belfast, Irlandia Utara.

Jono mengatakan bahwa the Blues Shelter akan merilis album barunya yang direkam di Sinjitos Records, Jakarta, menyusul setelah sukses dengan album pertamanya tahun 2006 `Turn it On`

Sementara itu Gugun mengatakan pada tanggal 29 Januari mendatang mereka akan tampil di 299 Club, di daerah Great Portland Street London, sebelumnya The Blues Shelter manggung di gedung KBRI London yang berada di Grosvenor Square, dekat Kedutaan Amerika Serikat.

Selanjutnya the Blues Shelter, akan manggung di The Stone Cross, West Bromwich, dan Rudi?s Blues Club, Rotherham, serta Key Street Music Venue, Clitheroe, Lancashire, dan tour mereka akan ditutup di Scarborough Blues Club, The Cask Inn, Cambridge Terrace, Scarborough, North Yorkshire.

The Blues Shelter sebelumnya pernah tampil di berbagai festival seperti KL International Blues Festival, ujar Gugun, pria kelahiran Sumatera, yang belajar gitar sejak usia lima tahun yang merupakan gitaris blues nomor satu di Asia Tenggara

Gugun, pegemar Stevie Ray, Jimi Hendrik, The Beatles, Albert King, Bubby Guy, Robert Johnson dan BB King mengakui bahwa ia bangga bisa membawa nama Indonesia di Kerajaan Inggeris.

Gugun yang bergabung dengan Jono Armstrong, pria kelahiran Durham, UK yang pernah tinggal di Indonesia selama tujuh tahun, mengatakan bahwa Blues Shalter pada tahun 2007 juga pernah melakukan tour di UK yang diakui pengemar James Brown, Ray Charles, Jimi Hendrik, Rabben Ford cukup sukses.

Sementara itu personel Blues Shelter lainnya Adityo Wibowo, alias Bowie, kelahiran Jakarta dan bermain drum sejak usia 10 tahun dan pernah meraih juara pertama kompetisi Sonar Drum Competition tahun 2002.

Bowie juga pernah berkolaborasi dengan musisi jazz dan rock Indonesia, antara lain Syaharani dan bahkan pernah tour bareng dengan Toninho Horta, musisi jazz asal Brazil.

Selain di Inggris, menurut Gugun, ia juga pernah main di Kuala Lumpur, Malaysia, Maret 2008, serta Cheranting di Pahang dan tampil pula pada Blues Festival dalam rangka "Singapore Art Festival 2008".

Gugun juga mengisi ilustrasi musik dalam film laris Laskar Pelangi. Tentu saja lagunya berirama blues, Mengejar Harapan.

Video klip yang pernah dibuat Gugun dan The Blues Shelter antara lain "Letter to My Girlfriends" yang ditulis Stevie Ray Vaughan yang mereka tampilkan di Kuta Karnaval Bali 2005, selain "Woke up This Morning" ditulis BB King yang dibawakan di KL Blues Festival 2008 Plastic People dan Video clip "Turn it on" ditulis Bruels Shelter pertama kali ditampilkan di Singapura Blues Fest dan KL Blue Fest Malaysia 2008, sedangkan clip "Pride and Joy" yang ditulis Stevie Ray Vaughan pernah di tampilkan di Cellars, Scarborough tahun 2007 lalu. (*_

COPYRIGHT © 2009

Menghapus Pilkada Langsung



Oleh : Eko Prasojo

Dikutip dari Kompas, Selasa, 5 Februari 2008

Polemik tentang pemilihan kepala daerah langsung muncul kembali.

Jika pada pembahasaan naskah akademik UU No 32 Tahun 2004, polemik terkait pertanyaan apakah pilkada langsung dapat meredam politik uang selama 2001-2004, kini debat terarah pada mahal dan rendahnya kualitas pilkada. Maka, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi mengusulkan agar pilkada dihapus (Kompas, 26/1/2008).

Demokrasi itu lokal

Pemilihan kepala daerah langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Apalagi, sebenarnya demokrasi bersifat lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah memperkuat legitimasi demokrasi.

Meski demikian, di negara-negara lain, keberhasilan pilkada langsung tidak berdiri sendiri. Ia ditentukan kematangan partai dan aktor politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada. Kondisi politik lokal yang amat heterogen, kesadaran dan pengetahuan politik masyarakat yang rendah, jeleknya sistem pencatatan kependudukan, dan penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) sering menyebabkan kegagalan tujuan pilkada langsung.

Manor dan Crook (1998) menyebutkan, dalam banyak hal pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan antara mayor (kepala daerah) dan counceilor (anggota DPRD) di negara berkembang menyebabkan praktik pemerintahan kian buruk. Faktor utamanya adalah karakter elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang rendah, dan tidak adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah.

Faktor-faktor itu terefleksi di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi. Akibatnya tidak jarang data kependudukan dimanipulasi, proses penyelenggaraan pilkada tidak obyektif dan tidak independen.

Sebagian besar problem dan gugatan pilkada di Indonesia bermula dari data kependudukan yang tidak valid. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi pilkada menyebabkan praktik politik uang dalam pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem pilkada diperberat kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan betapa sulitnya menghasilkan pilkada berkualitas dan diterima semua pihak.

Demokrasi ”versus” efisiensi

Tuntutan untuk menghapus pilkada langsung bukan tanpa alasan. Di negara-negara demokrasi modern yang memiliki tradisi pemilihan langsung, penyelenggaraan pemilu dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal. Lebih konkret, pilkada langsung di negara-negara itu dilakukan Biro Statistik Lokal atau Dinas Kependudukan Lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan memadai.

Dengan cara itu, ada dua manfaat efisiensi. Pertama, penyelenggara pemilu tidak dibayar hanya untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini kontradiktif terjadi di Indonesia, bahwa biaya KPUD menjadi amat mahal untuk menyelenggarakan semua tahapan, mulai dari pendaftaran pemilih hingga penetapan pemenang.

Kedua, pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk penyelenggaraan. Mahalnya pilkada di Indonesia karena merupakan pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus, mulai dari pendaftaran ulang yang sering tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang berulang tiap pemilihan, sampai kampanye jorjoran yang dilakukan parpol dan calon. Dengan kata lain, pilkada adalah ”proyek besar”, harus dibiayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada.

Logika berpikir proyek dalam pilkada ini tidak saja merasuki pemikiran penyelenggara pilkada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, birokrasi di pusat dan daerah, serta masyarakat pemilih. Proyek ini berlanjut sampai esensi dan tujuan kemenangan pilkada. Tidak heran jika partai politik dan aktor politik rela mengeluarkan miliaran rupiah untuk dapat mengikuti kompetisi pilkada.

Uang ini digunakan mulai dari menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat. Tentu saja tidak ada yang gratis dalam pesta akbar pilkada. Biaya yang dikeluarkan ini harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada. Jadi, apa yang dikhawatirkan banyak pihak tentang mahal pilkada mendekati kebenaran. Pilkada bukan hanya mahal dari sisi biaya penyelenggaraan yang harus ditanggung APBD, tetapi juga mahal dari ongkos yang harus dibayar masyarakat dalam arisan proyek bagi investor politik. Cukup valid untuk mengatakan pilkada langsung memboroskan uang negara dan belum memberi hasil optimal.

Meski demikian, saya kurang sependapat jika pilkada langsung dihapus. Perubahan kebijakan yang radikal dapat menimbulkan situasi chaos. Yang harus dilakukan, mengubah cara pandang pilkada sebagai pesta biasa.

Untuk jangka panjang, birokrasi yang netral dan profesional dapat menjadi pilihan penyelenggara pilkada untuk menjadikan pilkada sebagai hal biasa dalam kehidupan parpol, aktor politik, dan masyarakat pemilih.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)