Saturday, February 14, 2009

Mengubah Lahan Kosong Menjadi Kampung Belimbing

Kademi
Mengubah Lahan Kosong Menjadi Kampung Belimbing

“Di luar dugaan, biji buah yang dibuang di halaman belakang tumbuh menjadi benih.”
Tangan terampil Kademi, 60 tahun, cukup cekatan mengemas buah belimbing ke dalam kotak. Dalam waktu singkat, sebanyak 40 kilogram belimbing jenis bangkok merah sudah berpindah ke dalam peti kayu. Siang itu, Kademi harus menyelesaikan pengemasan 425 kotak belimbing yang akan dikirim ke Bandung. "Kalau pengemasannya terlalu lama, bisa membusuk," kata Kademi, Rabu lalu, kepada Tempo.
Dibantu sembilan tetangga yang sekaligus menjadi karyawannya, Kademi menyelesaikan pengemasan ribuan buah belimbing di teras rumahnya. Beberapa peti kayu terpaksa diletakkan di luar pagar karena tak tertampung seluruhnya di halaman rumah Kademi yang hanya seluas 7 x 3 meter.
Rutinitas seperti ini telah dijalani Kademi sejak 1985 silam. Meski tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pertanian, mantan pedagang makanan ringan ini mencoba menanam benih belimbing bangkok merah hasil buah tangan saudagar ayam di kampungnya Kelurahan Karangsari, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.
"Seussai berlibur di Bangkok, saudagar itu pulang membawa buah belimbing merah. Di luar dugaan, biji buah yang dibuang di halaman belakang tumbuh menjadi benih," kata Kademi yang hanya lulus sekolah dasar ini.
Dari situ, Kademi mulai mencoba mengembangkan benih belimbing bangkok. Selain ukuran buahnya yang sangat besar, rasa manis yang jauh melebihi buah lokal menjadi alasan utama Kademi untuk mencoba peruntungan di bidang pertanian. Sejak itulah ia menghabiskan waktu dengan mengutak-atik metode pembenihan untuk menghasilkan tunas yang bagus.
Setelah melalui berbagai eksperimen, Kademi berhasil menciptakan benih belimbing merah yang sempurna. Memanfaatkan sisa tanah di pojok teras rumahnya yang belum disemen, Kademi menanam benih tersebut di lahan 1 x 1 meter.. Dalam waktu tujuh bulan, benih itu telah berubah menjadi pohon belimbing yang sangat rindang dengan produktivitas buah yang lebat.
"Pak Lurah akhirnya tertarik untuk membagi-bagikan benih saya kepada warga dan menjadikannya program desa," kata ayah dua orang anak ini.
Inilah cikal-bakal terbentuknya kampung belimbing, yakni sebanyak 300 kepala keluarga di dalamnya berprofesi sebagai petani belimbing. Untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, setiap rumah diwajibkan menanam pohon belimbing di sela lahan mereka. Langkah ini cukup berhasil. Para tetangganya mulai berbondong-bondong memanfaatkan sela dapur dan kamar mandi mereka untuk menanam belimbing.
Perawatan pohon belimbing ini tidaklah rumit. Belimbing tergolong cukup tangguh terhadap serangan penyakit. Pemupukan juga hanya perlu dilakukan tiga kali dalam tujuh bulan.
Buah ini juga cukup familiar di masyarakat. Tak mengherankan jika belimbing ini banyak mengubah kehidupan ekonomi Kademi. Kini, ia telah memiliki 60 pohon di lahan seluas 1.000 meter persegi.
Jika kondisi alam mendukung, Kademi mematok hasil panennya dengan harga Rp 2.500 per kilogram. Harga ini bisa meningkat tajam hingga Rp 7.000 per kilogram di sejumlah swalayan Bandung yang menjadi pelanggannya. Kademi baru menaikkan harga jualnya menjadi Rp 4.000 per kilogram jika musim kemarau tiba.
Meski tergolong cukup mahal, buah jenis ini cukup banyak diminati masyarakat. Ukuran buahnya mencapai 7 ons per buah. Bahkan, ada yang bisa mencapai 1 kilogram setiap 3 buahnya untuk jenis belimbing super. Dengan perawatan yang benar, setiap pohon rata-rata mampu menghasilkan 60 buah setiap kali panen.
Selain memenuhi kebutuhan swalayan di Bandung, pesanan mengalir dari sejumlah pedagang di Surabaya, Semarang, dan wilayah Jawa Timur lainnya.
Dalam satu pekan, Kademi harus mengirimkan 150 kotak yang terdiri atas 40 kilogram belimbing setiap kotaknya ke Bandung, 180 kotak ke Surabaya, dan 75 kotak ke Semarang.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Kademi mengumpulkan seluruh hasil panen di kampungnya agar bisa didistribusikan. Langkah inilah yang memudahkan para petani belimbing di Kelurahan Karangsari untuk menjual hasil panen mereka.
"Bagi warga yang hanya memiliki dua pohon tentu kesulitan untuk menjual sendiri," kata Kademi.
Denyut pertanian inilah yang dalam perjalanannya memancing animo Pemerintah Kota Blitar untuk memberikan pembinaan. Dengan menerjunkan staf Dinas Pertanian yang memiliki pengetahuan budidaya belimbing, pemerintah daerah mencoba menawarkan diversifikasi belimbing menjadi aneka jenis minuman dan jamu tradisional. Sayangnya, usaha ini tidak disertai dengan dukungan pemasaran yang konkret sehingga warga tetap mengandalkan relasi kerja yang dirintis Kademi sebagai mata rantai penjualan.
Demikian pula dengan permodalan. Para petani rata-rata kesulitan modal untuk mengembangkan usaha ini. Meski pemerintah berulangkali mengumunkan bantuan lunak, hingga kini mereka masih bergantung pada lembaga keuangan swasta dengan bunga yang cukup tinggi. Akibatnya, tidak sedikit warga yang kehilangan jaminan mereka karena tidak mampu membayar cicilan.
Kepeduliannya pada sesama petani belimbing inilah yang mengantarkan Kademi sebagai pengepul terbesar di kelurahan itu. Hampir seluruh petani mempercayakan hasil panen mereka kepada Kademi. Tak mengherankan jika sebagian warga menyebutnya sebagai "Insinyur Belimbing". HARI TRI WASONO
Mendidik Preman Kampung
Kerja keras Kademi untuk membangun kampung belimbing tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain menuai kegagalan berulang kali, usaha pengirimannya nyaris diobrak-abrik preman kampung. Menurutnya, kawasan pemukiman padat penduduk yang ditempatinya banyak melahirkan remaja pengangguran yang gemar mabuk-mabukan. Bahkan, ia nyaris beradu fisik dengan salah satu preman yang mencoba merusak hasil panennya.
"Tuhan masih melindungi saya untuk berani melawan mereka," kata Kademi, yang kini memiliki empat cucu dari tiga orang anaknya.
Setelah bersitegang dengan Kademi, para preman yang rata-rata masih belia itu justru berubah sikap. Mereka kerap diundang ke rumah Kademi hanya untuk ikut menikmati hasil penjualan belimbing. Rutinitas ini rupanya mengubah kegarangan preman itu. Lalu, mereka mulai tertarik menjadi petani belimbing di bawah bimbingan Kademi.
Kesuksesan ini salah satunya dialami Feri, 25 tahun, salah seorang remaja binaan Kademi. yang kini mulai membangun rumah megah di kampung tersebut. Di usianya yang masih muda, saat ini ia tengah menikmati kehidupan bersama istri dan anaknya dengan berjualan belimbing. Karena tidak memiliki lahan pertanian, Feri memilih menjadi pengepul dengan keuntungan yang relatif besar.
"Pokoknya, cukup untuk mendirikan rumah dan makan sehari-hari, " kata Feri saat disinggung nilai penghasilannya.
Di usianya yang semakin senja, Kademi masih berharap bisa melahirkan petani-petani muda di kampungnya. Ia tidak menginginkan usaha yang sudah dirintisnya puluhan tahun silam ini sia-sia. Apalagi, kampung tersebut telah mengantarkan Kota Blitar menjadi daerah penghasil belimbing ternama. HARI TW
salam
Abdul Rohim

No comments: